Indonesia yang Kaya
I. PendahuluanIndonesia
telah dikenal dunia sebagai Negara Kepulauan, “Archipelagic State” yang
memiliki potensi sumber daya alam dan kekayaan laut yang sangat beragam.
Bahkan banyak Cendekiawan Internasional menyebut kawasan perairan laut
Indonesia tropis berdaya dukung alam yang tinggi dengan kemampuan “Mega
biodiversity”. Latar belakang geografis dan astronomis yang kita miliki
tentu memberi kebanggaan tersendiri sebagai anak bangsa.
Data menunjukkan, dari Sabang sampai Merauke,
lautan Indonesia memiliki luas sebesar 5,8 Juta km² yang terdiri dari
laut territorial dengan luas 0.8 juta km2, laut nusantara 2.3 juta km2
dan zona ekonomi eksklusif 2,7 juta km2. Di samping itu Indonesia
memiliki pulau sebanyak 17.480 pulau dan garis pantai sepanjang 95.181
km (data Departemen Kelautan dan Perikanan dalam Evaluasi Kebijakan
dalam Rangka Implementasi Hukum Laut Internasional,UNCLOS 1982), yang
kesemuanya itu mengandung potensi yang bernilai ekonomis sangat tinggi.
Potensi lestari total ikan laut di Indonesia
menunjukkan angka 7,5 % (6,4 juta ton/ tahun) dari potensi dunia. 24
juta hektar perairan laut dangkal Indonesia cocok untuk usaha budi daya
laut (mariculture) ikan kerapu, kakap, baronang, kerang mutiara,
teripang, rumput laut, dan biota laut lain yang bernilai ekonomis tinggi
dengan potensi produksi 47 juta ton/tahun. Nilai ekonomi total dari
produk perikanan dan produk bioteknologi perairan Indonesia diperkirakan
mencapai 82 miliar dolar AS per tahun. Hampir 70 % produksi minyak dan
gas bumi Indonesia bersal dari kawasan pesisir dan laut (Mulyadi, 2005).
Perairan Indonesia dikenal pula dengan sumber
plasma nutfah perairan terbesar di dunia. Dengan luas wilayah 1,3persen
dari luas permukaan bumi, Indonesia memiliki labih dari 37 persen dari
seluruh jenis ikan di dunia. Selain ikan konsumsi, laut di Nusantara pun
menyimpan potensi besar ikan hias. Para pakar mencatat Indonesia
memiliki lebih dari 1000 jenis ikan hias laut dan 240 jenis ikan hias
tawar. Menurut perhitungan PKSPL-IPB (l998), bahwa nilai ekonomi dari
sumberdaya perikanan (tangkap, budidaya, dan industri bioteknologi
perairan) saja dapat menghasilkan sekitar USS 82 milyar/tahun.
Potensi
laut lain yang belum tergarap dengan serius adalah keanekaragaman
biologi yang sangat besar. Invertebrate laut, algae, dan bakteri laut
ternyata mengandung zat biokimia yang berpotensi untuk kebutuhan medis,
dan dijadikan obat obatan. Misalnya, neoroxitin dari kerang laut. Zat
biokimia tersebut dapat dijadikan pembunuh rasa sakit. Zat tersebut
terbukti lebih ampuh 10 ribu kali dari morfin dan tanpa efek samping.
Dalam catatan terakhir, 10.160 buah pulau telah
disurvei dan diverifikasi. Potensi Kelautan Indonesia yang besar telah
memberikan sumbangan devisa sebesar US $ 2,6 miliar (2008). Jumlah
tersebut lebih baik dari tahun 2007 yang hanya US $ 2,3 miliar saja.
Potensi kelauatan dan perikanan Indonesia mencapai 70 persen dari
wilayah NKRI secara keseluruhan.
Letak geografis yang strategis
membuat keuntungan tersendiri bagi Indonesia. Keunggulan letak Indonesia
yang strategis mengakibatkan begitu besar arus frekuensi pelayaran yang
melewati wilayah Indonesia. Hampir 70% total perdagangan dunia
berlangsung diantara negara-negara di Asia Pasifik. Lebih dari 75%
barang2 yang diperdagangkan ditransportasikan melalui laut dan 45% (1300
triliun dollar per tahun) melalui ALKI (Alur Laut Kepulauan Indonesia)
yang meliputi Selat Malaka sebagai jalur dengan frekuensi pelayaran
tertinggi di dunia, Selat Lombok, Selat Makassar, dan laut-laut
Indonesia lainnya (Mulyadi S, 2005).
Bagai gayung bersambut, Hawaii adalah sebuah negara
yang sukses dalam bidang perikanan, namun tetap ingin merintis
kerjasama dengan Indonesia dalam hal pengelolaannya. Perkawinan
teknologi bidang perikanan antara Hawaii dan Indonesia diharapkan mampu
memberikan hasil yang lebih baik, sekaligus menggarap potensi kelautan
Indonesia secara maksimal dalam mendorong pertumbuhan ekonomi dan
kesejahteraan masyarakat.
Berawal dari Perjuangan
Demi mencapai kedaulatan
atas semua kekayaan diatas, bukanlah barang sekali jadi yang diberikan
oleh siapapun sebagai barang hibah nan gratis namun menempuh perjalanan
dan perjuangan yang tidak sedikit. Pada 13 Desember 1957 Perdana Menteri
Ir Djuanda mendeklarasikan seluruh perairan antarpulau di Indonesia
sebagai wilayah nasional. Deklarasi itu kemudian dikenal sebagai
Deklarasi Djuanda, yang merupakan pernyataan jati diri sebagai negara
kepulauan, di mana laut menjadi penghubung antarpulau, bukan pemisah.
Keputusan ini mempertimbangkan (1) bentuk geografi Indonesia sebagai
suatu Negara Kepulauan yang terdiri dari beribu-ribu pulau mempunyai
sifat dan corak tersendiri (2) bagi keutuhan teritorial dan untuk
melindungi kekayaan negara Indonesia semua kepulauan serta laut terletak
di antaranya harus dianggap sebagai suatu kesatuan yang bulat (3)
penentuan batas lautan teritorial seperti yang termaktub dalam
“Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonantie 1939” Stbl. 1939 No.
442 artikel 1 ayat 1 tidak lagi sesuai dengan pertimbangan tersebut di
atas, karena membagi wilayah daratan Indonesia dalam bagian terpisah
dengan teritorial. Deklarasi dengan prinsip Negara Nusantara
(Archipelagic State) ini meskipun mendapat tantangan dari beberapa
negara besar namun melalui perjuangan yang panjang dan ulet, melewati
dua rezim pemerintah dan tiga rezim politik yang berbeda yaitu Demokrasi
Liberal, Demokrasi Terpimpin dan Orde Baru, akhirnya Indonesia mendapat
pengakuan internasional di PBB. Pada tahun 1982 lahirlah Konvensi kedua
PBB tentang Hukum Laut (2nd United Nations Convention on the Law of the
Sea, UNCLOS) yang mengakui prinsip-prinsip negara kepulauan Nusantara
(archipelagic principles), sekaligus juga mengakui konsep Zona Ekonomi
Eksklusif (ZEE) yang diperjuangkan oleh Chili dan negara-negara Amerika
Latin lainnya.
Setelah melalui perjuangan panjang, akhirnya
diterima dan ditetapkan di dalam konvensi hukum laut PBB (UNCLOS 1982)
bahwa Indonesia adalah negara Kepulauan Nusantara. Deklarasi Djuanda
yang berisikan konsepsi Negara Nusantara yang diterima masyarakat dunia
dan ditetapkan dalam Konvensi Hukum Laut PBB UNCLOS 1982 maka wilayah
laut Indonesia menjadi sangat luas, yaitu 5,8 juta km sama dengan ¾ dari
keseluruhan luas wilayah Indonesia. Salah satu keputusan terpenting
bagi Indonesia pada konferensi ini adalah pengakuan terhadap bentuk
negara Kepulauan dengan pengaturan hak dan kewajibannya. Keputusan
tersebut secara resmi diterima untuk ditandatangani 117 negara dalam
sidang terakhir Konferensi Hukum Laut (HUKLA) III PBB di Montego Bay
Jamaika tanggal 10 Desember 1982. Kesepakatan Konvensi HUKLA 1982
memberikan penambahan luas wilayah perairan Indonesia secara signifikan.
Bertolak dari deklarasi Djuanda 1957 dan UUD 1945 Bab IX A pasal 26,
maka luas wilayah laut kita menjadi 5,8 juta km2.
Pada saat Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945
berdasarkan Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonnantie (TZMKO)
1939 warisan pemerintah kolonial, luas perairan Indonesia diperkirakan
sekitar 100.000 km2. Berdasarkan penetapan Konvensi HUKLA 1982, wilayah
laut yang dapat dikelola Indonesia berkembang menjadi 5,8 juta km2 yang
terdiri atas 3,1 juta km2 perairan nasional Indonesia (Laut Wilayah atau
Laut Teritorial dan perairan kepulauan) dan 2,7 juta km2 perairan laut
ZEE. Luas perairan dimungkinkan dapat berkembang lagi, apabila Indonesia
pada batas waktu hingga 2009 dapat membuktikan bahwa Indonesia memiliki
batas Landas Kontinen di luar 200 mil laut.
Pemerintah, pada tahun 2001 kemudian menetapkan hari Deklarasi Djuanda sebagai Hari Nusantara
(Keppres 126 tahun 2001).
Sebelum Deklarasi Djuanda, Republik Indonesia dengan wilayah negara
mencakup peninggalan Hindia Belanda, belum menjadi negara kepulauan.
Menurut Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonantie 1939, batas
laut teritorial Indonesia adalah 3 mil laut dari pantai. Maka pada waktu
itu, perairan antarpulau adalah wilayah internasional. Secara fisik
pulau-pulau Indonesia dipisahkan oleh laut.
Dengan terbitnya UNCLOS
1982 tersebut yang kemudian diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia dalam
Undang-undang No 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan UNCLOS 1982 di
Indonesia UNCLOS kemudian resmi berlaku pada tahun 1994 setelah
diratifikasi oleh 60 negara. Dengan UNCLOS, Indonesia mendapat pengakuan
dunia atas tambahan wilayah nasional seluas 3,1 juta km2 wilayah
perairan dari hanya 100.000 km2 warisan Hindia Belanda, ditambah dengan
2,7 juta km2 Zone Ekonomi Eksklusif yaitu bagian perairan internasional
dimana Indonesia mempunyai hak berdaulat untuk memanfaatkan sumber daya
alam termasuk yang ada di dasar laut dan di bawahnya. Jadilah Indonesia
mewujudkan diri sebagai satu-satunya bangsa di dunia yang menamakan
wilayahnya sebagai Tanah Air.
Perhatian lebih konkrit tampak pada terbentuknya
Departemen Kelautan dan Perikanan pada tanggal 10 November 1999 dibawah
kepemimpinan KH. Abdurahman Wahid.
Pada masa pemerintahan Presiden Megawati
Soekarnoputri telah mencanangkan Gerbang Mina Bahari, di Teluk Tomini,
11 Oktober 2003 lalu. Gerakan Nasional Pembangunan Kelautan dan
Perikanan, ini diharapkan mampu mempersatukan seluruh komponen bangsa
untuk mendayagunakan sumberdaya kelautan dan perikanan secara cerdas,
optimal dan lestari bagi kemajuan, kemakmuran dan kemandirian bangsa
Indonesia. Apabila Gerbang Mina Bahari ini dapat diimplementasikan, maka
pada tahun 2006 produksi perikanan akan mencapai 9,5 juta ton. Total
nilai ekspor perikanan menjadi sebesar US$ 7. Devisa pariwisata bahari
akan meningkat. Jasa perhubungan laut yang selama ini menghamburkan
devisa US$ l0 milyar per tahun menjadi penghasilan perusahaan pelayaran
dalam negeri. Serta tambahan lapangan kerja yang dapat tercipta
diperkirakan sekitar 3 juta orang.
Dukungan terhadap perkembangan geliat kelautan dan
perikanan di Indonesia juga ditunjukkan oleh dunia perbankan. Sejak
Maret 2003, Bank Mandiri telah menyediakan kredit khusus untuk usaha
perikanan sebesar Rp 3 trilyun untuk jangka waktu sampai Maret 2004.
Bank Bukopin telah dan akan membangun kredit simpan-pinjam khusus untuk
usaha perikanan, bernama Swamitra Mina di l60 kabupaten/kota pesisir.
PT. PNM telah menandatangani kerjasama dengan 30 Bupati/Walikota di KBI
dan KTI untuk mendirikan BPR Pesisir dan Nelayan.
Demi membantu pemerintah dalam hal pemberian rekomendasi untuk
kepentingan kebujakan kelautan, pemerintah membentuk Dekin. Dekin (Dewan
Kelautan Indonesia) yang dibentuk 21 September 2007 sebagai pengganti
Dewan Maritim Indonesia (DMI) diharapkan akan mendorong supaya potensi
yang ada di laut dapat menjadi penopang ekonomi nasional. Juga supaya
Indonesia tidak terjepit, mengingat percaturan strategi politik global
permainannya sudah di laut. Dewan Kelautan Indonesia merupakan forum
konsultasi bagi penetapan kebijakan umum di bidang kelautan. Dewan
Kelautan Indonesia mempunyai tugas memberikan pertimbangan kepada
Presiden dalam penetapan kebijakan umum di bidang kelautan.
Dalam melaksanakan tugas, Dewan Kelautan Indonesia menyelenggarakan fungsi:
a. pengkajian dan pemberian pertimbangan serta rekomendasi kebijakan di bidang kelautan kepada Presiden;
b.
konsultasi dengan lembaga pemerintah dan nonpemerintah serta
wakil-wakil kelompok masyarakat dalam rangka keterpaduan kebijakan dan
penyelesaian masalah di bidang kelautan;
c. pemantauan dan evaluasi terhadap kebijakan, strategi, dan pembangunan kelautan;
d. hal-hal lain atas permintaan Presiden.
Laut Indonesia KiniPengantar yang diulas diatas,
tentunya menggambarkan kepada kita begitu besar potensi serta fasiltas
yang kita punyai sebagai bangsa maritim. Namun saatnya untuk jujur,
bahwa disadari atau tidak, kita belum kaya secara riil dari nilai
kelautan. Sebagai pemilik, kita belum bisa mengoptimalkan seluruh sumber
daya kelautan yang ada. Malah banyak “aset laut” kita yang malah
dinikmati orang lain secara semena-semena. Fakta membuktikan bahwa kita
terlalu sering “mendapat kunjungan” dari pihak asing.
Potensi
kelautan Indonesia yang dijarah ternyata nilainya luar biasa. Kajian
khusus pencurian ikan di wilayah Indonesia memang belum dilakukan.
Tetapi kajian khusus pencurian ika di laut Arafuru pernah dilakukan.
Hasil yang didapat sungguh mengejutkan, bahwa 1,2 juta ton ikan di laut
Arafuru dijarah. Jika 1 kg ikan dihargakan US$ 1 per kg berarti nilainya
lebih dari US$ 1,2 miliar pertahun.
Memang, pencurian ikan di wilayah Indonesia yang
dilakukan nelayan asing masih belum dapat ditangkal. Nelayan Vietnam,
Thailand, China, Myanmar, dan Malaysia kerap secara diam – diam dan
terus terang masuk laut Indonesia. Tak heran setiap tahun ratusan kepal
nelayan asing tertangkap.
Yang mengejutkan justru kajian ahli dari Thailand,
Anucha Charoenpo (2003). Hasil kajiannya mengungkapkan bahwa setiap
tahunnya lebih dari 3000 kapal trawl Thailand masuk secara illegal
keperairan Indonesia. Khususnya perairan yang dimasuki adalah Selat
Malaka, Laut Cina Selatan, dan Laut Arafuru. Para Nelayan Negeri Gajah
Putih merampok ikan dari Indonesia nilainya mencapai US$ 1,2 miliar
hingga US$ 2,4 miliar setahun.
Banyak potensi kita yang belum dikelola karena
tidak ada perhatian dari para pengambil kebijakan, sebab kurang peduli
terhadap laut. Wisata bahari kita sebagai daerah tropis banyak yang
belum dikembangkan sebagai sumber ekonomi. Dengan total panjang garis
pantai yang luar biasa, mengapa wisata bahari yang kita miliki masih
cenderung stagnant dalam hal pengembangannya. Tidak ada perubahan yang
benar-benar signifikan terhadap hal ini.
Laut kita yang sebenarnya indah ini, ternyata bagi
sebagian orang merupakan ladang luas untuk pembuangan limbah dan sampah.
Paradigma yang muncul yaitu laut sebagai tempat pembuangan sampah, laut
dipersepsikan sebagai tempat buangan berbagai jenis limbah. perairan
Indonesia juga menjadi ladang subur bagi pembuangan limbah beracun
industri tambang, minyak, dan gas. Di perairan Taman Nasional Laut
Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta, ditemukan hampir setiap tahun
tumpahan minyak mentah (tarball).
Masalah ini ternyata belum selesai sampai disini.
Berkat peningkatan rata-rata suhu bumi, membawa pengaruh perubahan iklim
yang tidak bisa diremehkan. Data menyebutkan bahwa di tahun 2008,
nelayan Indonesia hanya melaut sekitar 180 hari. Sebagian besar akibat
dampak perubahan iklim, seperti gelombang tinggi, dan pencemaran di
laut. Situasi ini membuktikan, semakin parah perubahan iklim yang
terjadi, maka nelayan kita akan semakin sulit.
Secara bertahap, hutan bakau di Pulau Sulawesi dan Jawa telah
dikonversi untuk pertambakan dan mengalami kerusakan teramat parah. Dari
sekitar 4,2 juta ha tambak pada tahun 1982, kini tak kurang dari 1,9
juta ha dalam 3 tahun terakhir. Hutan mangrove di kawasan pantai utara
Jawa Tengah sebagian besar atau 96,95 persen telah mengalami kerusakan,
baik kerusakan sedang maupun berat. Berdasarkan tingkat kerusakan,
kawasan mangrove yang rusak sedang seluas 31.237 hektare, rusak berat
61.194 hektare, sementara yang masih baik hanya 2.902 hektare, padahal,
secara ekologi mangrove dapat menahan gelombang pasang dan secara kimia
mangrove dapat menetralisir dan menyaring polutan-polutan berbahaya.
penyebab kerusakan hutan mangrove antara lain adanya alih fungsi lahan
untuk tambak intensif, permukiman, industri, pengembangan wisata, dan
penebangan liar.
Kebutuhan yang semakin meningkat akan energi,
makanan, produk-produk kelautan dan isu pencemaran laut, kerusakan
daerah pesisir, berkurangnya biodiversity laut, fenomena El Nino dan
kenaikan muka laut menuntut pengembangan ilmu kelautan yang bersifat
holostik, interdisiplin dan keharusan melakukan kerjasama internasional.
Kerja berikutnyaParadigma yang mesti dibangun di
benak bangsa ini mestilah di rubah. Kebanggaan sebagai bangsa maritim
harus benar-benar terinternalisasi dalam jiwa bangsa. Padahal pada
kenyataannya sebagian besar penduduk bermukim di kawasan pesisir dan
negara Indonesia merupakan negara kepulauan, kebanggaan sebagai bangsa
bahari hanya secara nyata ditampilkan oleh beberapa suku bangsa di
Indonesia. Salah satu masalah sehubungan dengan hal ini adalah rendahnya
minat kaum muda potensial untuk bergelut dengan dunia kebaharian dan
perikanan disebabkan rendahnya insentif di bidang kelautan dan perikanan
(Sumber : Jakarta, Kompas, 8 juli 2003)
Sehingga dengan adanya
perubahan mind-set yang ada, diharapkan ada perubahan perilaku tiap
orang, apapun statusnya, menjadi lebih aware dan mencintai laut itu
sendiri.
Satu hal yang dapat dilakukan adalah dengan
menanamkan unsur-unsur pembelajaran mengenai kelautan Indonesia dalam
kurikulum di sekolah-sekolah sejak dini. Materi Pendidikan yang
diberikan kepada anak bangsa saat ini belum baik, sehingga anak
Indonesia sendiri belum menyadari sejak dini pentingnya pelestarian dan
pengembangan sumber daya kelautan. Kita hanya dikenalkan pada peta
Indonesia yang luas, tanpa benar-benar dikenalkan pada luar biasanya
potensi kelautan yang kita punya. Beberapa negara seperti Amerika
Serikat telah memusatkan perhatian kepada pendidikan dalam membangun
perekonomiannya, dengan memandang sumber daya manusia sebagai objek
investasi bangsa. Namun disadari pula bahwa pendidikan tidak dapat
berperan tunggal dalam pembangunan tanpa adanya dukungan complementary
inputs atau faktor – faktor komplementari lainnya (Henry M. Levin dan
Carolyn Kelly, Economics of Education Review, 1994). Dalam kaitannya
dengan pengelolaan sumber daya laut dan terumbu karang, keadaan terkini
menunjukkan bahwa Indonesia tidak berada dalam posisi menjadikan
pendidikan sebagai sentral solusi perubahan status sumber daya laut dan
terumbu karang, ataupun menjadikan pendidikan sebagai salah satu faktor
komplementari dari upaya penyelamatan terumbu karang di Indonesia,
bersejajar dengan upaya penegakan hukum, pengembangan riset ilmiah, dan
aspek input komplementari lainnya.
Rencana Strategis Nasional (Renstra) departemen –
departemen teknis yang berkaitan langsung dalam pendidikan kelautan,
diantara Departemen Pendidikan Nasional dan Departemen Perikanan dan
Kelautan belum secara eksplisit dan jelas mendukung pendidikan kelautan
sebagai investasi sumber daya manusia untuk mendukung pengelolaan sumber
daya laut termasuk terumbu karang di Indonesia. Padahal disadari betul
potensi kelautan Indonesia yang sedemikian kaya, dengan luas terumbu
karang sebesar 85.707 km2 yang merupakan 14% dari luas terumbu karang
dunia(Tomascik dkk, 1997), namun dengan kondisi 37, 56% buruk dan hanya
6,69% dalam kondisi sangat baik (Suharsono, 2003)
SDM kelautan mengalami ironi dengan kurangnya
perhatian bagi pendidikan di kawasan pesisir dan masih sangat rendahnya
tingkat pendidikan masyarakat yang berinteraksi langsung dengan sumber
daya perikanan dan terumbu karang.
Belum ada kurikulum formal kelautan (SD hingga SMA)
integratif di tingkat nasional, propinsi, kabupaten dan/atau sekolah,
hanya pihak – pihak tertentu saja yang memulai inisiatif sporadis (LSM,
sekolah berwawasan laut dan lingkungan, sekolah di wilayah pesisir,
Kabupaten tertentu seperti Balikpapan). Belum banyak dikembangkan
alternatif pendidikan kelautan bagi generasi muda putus sekolah. Yang
sering terjadi adalah pemusatan SDM dalam satu bidang saja, sehingga
meninggalkan aspek lain yang sebenarnya jugalah sangat penting.
Pendidikan yang diajarkan sekarang kurang bermakna
bagi pengembangan pribadi dan watak peserta didik, yang berakibat
hilangnya kepribadian dan kesadaran akan makna hakiki kehidupan. Mata
pelajaran yang berorientasi akhlak dan moralitas serta pendidikan agama
kurang diberikan dalam bentuk latihan-latihan pengamalan untuk menjadi
corak kehidupan sehari-hari. Karenanya masyarakat cenderung tidak
memiliki kepekaan yang cukup untuk membangun toleransi, kebersamaan,
khususnya dengan menyadari keberadaan masyarakat yang majemuk.
Selain itu, belum adanya alokasi yang cukup
bermakna dari Departemen Pendidikan, Lingkungan Hidup maupun Kelautan
dan Perikanan yang mendukung pendidikan kelautan. Itulah yang kadang
disebut sebagai tidak terintegrasinya kebijakan pendidikan kelautan di
Indonesia.
Kebijakan pendidikan nasional belum dibuat dengan mengacu
grand strategi yang tertuang dalam rencana strategi (renstra) nasional.
Tidak heran kalau kebijakan pendidikan yang dilakukan oleh pusat dan
daerah sepertinya berjalan sendiri-sendiri, sehingga belum bisa
memunculkan sinergi (Sumber: GBHN 1999 – 2004).
Masalah pendidikan berdampak pada kurangnya supply
staff ahli yang bisa benar-benar berkerja secara professional dalam
mengembangkan potensi kelautan. Dr .Ir. Agustedi. MS, direktur Program
Pascasarjana Pengelolaan Sumberadaya Perairan, Pesisir dan, Kelautan
Universitas Bung Hatta, mengatakan, Indonesia membutuhkan lebih 200 ribu
orang lebih tenaga kerja ahli bidang eksplorasi dan pengolahan hasil
laut. Permintaan akan kebutuhan tenaga kerja ahli kelautan tersebut,
belum mampu dipenuhi oleh Perguruan Tinggi (PT), di Indonesia saat ini
baru ada sekitar 12 Perguruan Tinggi baik swasta maupun PTN yang
mempunyai program studi atau Fakultas Perikanan dan Kelautan yang
menggelar pendidikan perikanan dan kelautan. Lulusan tenaga ahli
kelautan atau sarjana dibidang kelautan dan perikanan dari 12
universitas itu baru sekitar seribu orang lebih pertahun dan itu pun
tidak semuanya menerjuni bidang yang cukup menjanjikan ini. Kebanyakan
lulusan Fakultas Perikanan dan Kelautan itu lebih berharap menjadi
Pegawai Negeri Sipil (PNS) sehingga cukup banyak yang menggeluti profesi
lain walaupun tidak sesuai dengan dasar ilmu keahliannya. Lulusan
Perguruan Tinggi memang mengharapkan pekerjaan yang layak sesuai tingkat
pendidikan dan bidang keahlian, tetapi cukup terbatas yang bisa bekerja
dengan memanfaatkan keahlian menciptakan lapangan pekerjaan sendiri.
Banyaknya lulusan PT Perikanan dan Kelautan yang lebih memilih profesi
lain dari pada mengolah sumbar daya kelautan. Hal itu, berkaitan dengan
pola pikir yang keliru tentang bidang kajian ilmu yang
ditekuninya.Sebagai ilustrasi potensi kelautan cukup menjanjikan, salah
satunya terlihat dari hasil kajian para ahli terumbu karang dunia,
terumbu karang seluas 1 Km persegi mampu menghasilkan ikan sekitar 40
sampai 60 ton ikan atau setara dengan 120 ribu dolar Amerika Serikat.
Potensi itu, belum termasuk kemungkinan pemasukan pariwisata bahari yang
mencapai 50 sampai 80 ribu dolar AS dan kegiatan penelitian. Andaikan,
tenaga ahli lulusan perguruan tinggi mampu mengelola terumbu karang dan
lahan laut yang mencapai 2/3 dari luas Indonesia itu, tentu akan cukup
berarti bagi kemakmuran bangsa.
Sebagai bangsa maritim, selaiknya jugalah nelayan
mendapat perhatian yang lebih di mata pemerintah. Para nelayan yang
meskipun core-job-nya adalah pencarian hasil laut, yang seharusnya
dengan potensi laut seperti ini menjadi kaya, namun yang terjadi di
lapangan malah sebaliknya. Nelayan Indonesia kini identik dengan
kemiskinan. Tinggal di rumah-rumah kayu yang kecil di pinggir pantai,
dengan penghasilan per harinya yang kadang tidak seberapa. Sungguh hal
yang memiriskan hati memang.
Saatnya berani untuk mengakui, potensi laut yang
sungguh luar biasa yang diberikan Tuhan kepada kita ternyata terlalu
besar dan terlalu banyak bagi bangsa ini, bahkan saking banyaknya,
negara dengan penduduk kurang lebih 230 juta jiwa ini, tidak mampu untuk
benar-benar memanfaatkan sembari merawat laut kita yang sungguh indah
ini.
Pemerintah sebagai satu-satunya subjek pengemban
amanah dari kedaulatan bangsa ini, sudah saatnya menjadikan isu ini
menjadi hal yang tidak lagi diremehkan. Pembangunan saatnya diarahkan
dari Land-based Development menjadi Marine-based Development.
Konferensi maupun perjanjian internasional terbukti tidak bisa dijadikan
jaminan adanya kemajuan yang signifikan terhadap pengembangan kebijakan
kelautan Indonesia. Dan yang harus dilakukan adalah memperbaiki
kebijakan dalam hal pendidikan di bidang kelautan.
Sebagai Negara yang besar, ternyata kita tidak
disibukkan dengan usaha-usaha eksplorasi positif terhadap laut kita,
namun malah kita hanya berpusing untuk mengusir kapal-kapal ilegal yang
mengambil ikan-ikan kita secara semena-mena. Bahkan sampai sekarang,
urusan ambang batas laut masih menjadi polemik dengan negara tetangga.
Jika Pemerintah memang serius mengurusi seluruh kedaulatan bangsa ini,
dimanapun letaknya, maka tentu hal ini tidak akan terjadi karena setiap
penduduk Negara yang sungguh-sungguh mencintai bangsanya sendiri ini
akan merasakan betapa besarnya anugerah Tuhan yang diberikan kepada
kita.
Perkembangan kelautan Indonesia memang sudah
saatnya menjadi perhatian kita bersama dengan tidak hanya berbangga.
Jangan sampai kita menjadi bangsa yang kufur dengan tidak mensyukuri
segala nikmat ini. Bila bangsa ini ingin benar-benar besar, maka
siapapun kita, saatnya sayangi laut kita seperti menyayangi laut milik
sendiri; tidak untuk apa-apa, tapi demi menyongsong totalitas kedaulatan
kelautan bangsa Indonesia.
Departemen Kajian Strategis BEM FEUI 2009.
II.Pentingnya
SDM perikanan dan kelautan
“The
Archipelago Economy: Unleashing Indonesia's Potential” menyebutkan, sektor
perikanan merupakan salah satu sektor utama (di samping sektor jasa, pertanian,
dan sumberdaya alam) yang akan menghantarkan Indonesia sebagai negara yang maju
perekonomiannya pada 2030. Pada tahun tersebut, ekonomi Indonesia akan
menempati posisi ketujuh ekonomi dunia, dengan mengalahkan Jerman dan Inggris.
Berangkat
dari fakta di atas, maka pembangunan kelautan dan perikanan memiliki peran yang
sangat strategis dalam mendukung keberhasilan pembangunan nasional. Dengan
potensi demikian, seharusnya Indonesia mampu menjadi negara maju dan menguasai
pasar perikanan dunia.
Namun,
yang terjadi di lapangan saat ini tidak sesuai dengan yang diharapkan. Potensi
yang ada belum dikelola secara optimal. Salah satu permasalahannya adalah
faktor Sumber Daya Manusia (SDM). Untuk itulah pemerintah melalui Kementerian
Kelautan dan Perikanan (KKP) perlu mendorong peningkatkan kapasitas SDM
kelautan dan perikanan.
Pengembangan
SDM kelautan dan perikanan sangat penting, karena mengelola sumberdaya kelautan
dan perikanan pada hakekatnya adalah mengelola SDM-nya. Mengutip data World
Economic Forum 2014, indeks daya saing Indonesia pada 2014-2015 menduduki peringkat
ke-34 dari 144 negara di dunia. Salah satu pilar dari 12 pilar yang dinilai
adalah pendidikan tinggi dan pelatihan, karena itu, diperlukan peningkatan
kapasitas SDM melalui pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan. Hal ini diperkuat,
bahwa pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015–2019,
peran SDM kompeten menjadi target dan sasaran prioritasnya. Karena itu
penyiapan SDM kompeten sangat penting dan dibutuhkan guna mensukseskan
keberhasilan pembangunan kelautan dan perikanan.
Stigma
nelayan dan komunitas masyarakat pesisir sebagai golongan bawah atau masuk
dalam kategori miskin masih melekat. Ada suatu kebiasaan yang masih terjadi dan
dilakukan oleh masyarakat nelayan adalah menghabiskan keuntungan hasil
tangkapan secara cepat. Pola pikir yang mereka gunakan masih terpaku pada pola
pikir tradisional, menganggap masih banyak ikan yang bisa ditangkap di laut.
Meski kenyataannya persediaan ikan di laut sangat terbatas.
III. Peningkatan
SDM Perikanan dan Kelautan
Ada
empat hal yang perlu mendapatkan perhatian untuk membangun kelautan dan
perikanan ke depan, yaitu keberlanjutan sumberdaya alam yang ada di laut,
khususnya sumberdaya ikan, dukungan SDM andal, infrastruktur, dan sistem
kelembagaan. Dari keempat hal tersebut, keberadaan SDM unggul menjadi kunci
utama keberhasilan pembangunan kelautan dan perikanan.
Karena
itu sudah saatnya Indonesia memiliki grand design pembangunan kelautan dan
perikanan yang berpihak pada pengembangan SDM Indonesia di masa yang akan
datang. Indonesia akan lebih maju kalau didukung oleh SDM yang baik dan
bertanggungjawab. Selain itu juga perlu terus dikembangkan wirausaha-wirausaha
baru berbasis sumberdaya kelautan dan perikanan. Hal ini dimaksudkan guna
mengoptimalkan pemanfaatan potensi sumberdaya tersebut untuk kesejahteraan
masyarakat dan kelestarian lingkungan. Banyak potensi bisnis di sektor kelautan
dan perikanan yang dapat dikembangkan secara baik.
Untuk
itulah perlu adanya peran pemerintah yang hadir di tengah-tengah masyarakat
untuk meningkatkan kapasitas SDM kelautan dan perikanan melalui pendidikan,
pelatihan, dan penyuluhan. Pemerintah melalui Kementerian Kelautan dan
Perikanan (KKP) pada tahun 2015 menargetkan
penyelenggaraan pendidikan bagi 6.250 peserta didik dengan output lulusan
sebanyak 1.700 orang; pengembangan Polteknik KP sebanyak 10 Unit; dukungan
biaya pendidikan bagi 832 orang anak pelaku utama; penumbuhan wirausaha muda
bagi peserta didik sebanyak 53 paket; sertifikasi kompetensi peserta didik;
serta penyelenggaraan pendidikan kesetaraan (community college) di 5
Provinsi dan Kabupaten/Kota.
Pendidikan tersebut dilakukan di sembilan Sekolah Usaha Perikanan
Menengah di Aceh, Pariaman, Kota Agung, Tegal, Pontianak, Bone, Ambon, Sorong,
dan Kupang; tiga Politeknik Kelautan dan Perikanan (Poltek KP) di Sidoarjo,
Bitung, dan Sorong, serta satu Sekolah Tinggi Perikanan di lima kampus, yakni
Jakarta, Bogor, Serang, Karawang, dan Wakatobi. Selain itu, KKP mulai
mengembangkan 10 Poltek KP di berbagai daerah di Indonesia secara bertahap. Data
2014 menunjukkan jumlah peserta didiknya mencapai 6.533 orang dengan lulusan
pada tahun itu sebanyak 1.665 orang. Para lulusan tersebut sebanyak 80% bekerja
di dunia usaha dan industri kelautan dan perikanan.
Di bidang pelatihan, target 2015 adalah terlatihnya 17.000 orang
di 34 provinsi, penguatan widyaiswara/instruktur sebanyak 1.270 orang;
pengembangan Techno Parksebanyak 4 unit; penjaminan mutu penyelenggaraan
pelatihan KP melalui sertifikasi sistem manajemen mutu ISO 9001:2008 dan
akreditasi penyelenggaraan diklat teknis dan fungsional bagi aparatur KP;
pengembangan sistem sertifikasi kompetensi SDM KP melalui penyusunan Standar
Kompetensi Kerja Nasional (SKKNI) bidang KP, penyusunan kurikulum/modul
pelatihan berbasis kompetensi, pengembangan Materi Uji Kompetensi (MUK),
penyiapan assesor kompetensi, dan pengembangan Lembaga Sertifikasi Profesi
(LSP) KP; penguatan LSP KP sebanyak 406 lembaga pelatihan; serta peningkatan
kapasitas tenaga kepelatihan melalui Training of Trainer, Management
of Training, dan Training Officers Course. Pada 2015 juga dilakukan
sertifikasi kompetensi sebanyak 21.250 orang. Sertifikasi ini diyakini
merupakan cara efektif untuk menghasilkan SDM kompeten serta meningkatkan daya
saing dan nilai tambah. Untuk mempercepat program sertifikasi KKP pada tahun
ini menambah 225 LSP KP.
Di bidang penyuluhan pada 2015 dilakukan pendampingan 512.700
pelaku utama oleh penyuluh perikanan di 34 provinsi; pengembangan
Penyelenggaraan Penyuluhan melalui Unit Percontohan Penyuluhan KP di 12 provinsi;
pengembangan kelas kelompok pelaku utama dari kelas pemula menjadi kelas
mandiri (madya dan utama) sebanyak 4.000 kelompok; penumbuhan kelompok pelaku
utama baru sebanyak 1.270 kelompok; pengembangan teknologi informasi;
implementasi strategi dan kebijakan dalam rangka penguatan SDM KP melalui
jejaring kerjasama dalam dan luar negeri; serta tersedianya penyuluh di
perbatasan negara tetangga sebanyak 144 orang di 10 provinsi. Berdasarkan data
Sistem Informasi Manajemen Penyuluhan Kelautan dan Perikanan per hari ini,
terdapat 13.256 penyuluh perikanan se-Indonesia, yang terdiri dari 3.204
penyuluh perikanan PNS, 1.202 Penyuluh Perikanan Tenaga Kontrak (PPTK), 8.529
penyuluh swadaya, 201 PPTK Daerah, 40 penyuluh swasta, dan 77 penyuluh honorer.
Dengan output 1.700 masyarakat terdidik, 17.200 masyarakat
terlatih, dan 512.700 masyarakat tersuluh, maka ditargetkan pada tahun 2015
BPSDM KP dapat meningkatkan kapasitas 531.600 orang. Diharapkan kinerja yang
dilaksanakan dapat mencapai target yang telah ditetapkan tersebut dengan
sebaik-baiknya, sehingga jumlah SDM unggul di sektor kelautan dan perikanan
dapat terpenuhi untuk mewujudkan masyarakat kelautan dan perikanan yang
sejahtera.
IV.Penutup
Semangat
mewujudkan sektor kelautan dan perikanan sebagai penggerak pembangunan selaras
dengan potensi kekayaan alam kita dimana 2/3 kawasan Indonesia adalah laut.
Pemerintah perlu fokus menggali sumberdaya alam dan harus mengedepankan
sumberdaya manusia sebagai instrumen yang sangat vital karena keduanya bak dua
sisi mata uang yang tak terpisahkan. Mewujudkan SDM kelautan dan perikanan
bukan perkara mudah, butuh upaya keras untuk mengembangkan dan meningkatkan
kualitas sumber daya manusia kelautan dan perikanan dimana nelayan, pembudidaya
ikan, pengolah ikan dan petambak garam sebagai motor penggeraknya. Kunci
penting pembangunan kelautan dan perikanan bukan semata terletak pada
melimpahnya sumberdaya alam tetapi pada kuatnya sumberdaya manusia untuk
mengelola dan memanfaatkannya secara berkelanjutan.
Daftar Pustaka
Suseno,
Sukoyono. 2015. “Membangun Laut Membangun Manusia”. Humas BPSDM KP. Jakarta
Siaran
Pers. 2015. “SDM Kelautan dan Perikanan Kompeten Kunci Pembangunan Nasional”.
Humas BPSDM KP”. Malang
Siaran
Pers. 2015. “KKP Perkuat SDM Kelautan dan Perikanan”. Humas BPSDM KP”. Jakarta
Solihin,
Dadang. 2012. “Peningkatan Kualitas SDM Aparatur dan Kepemimpinan Masa Depan”,
Diklat Pengembangan Kepribadian SDM Aparatur
LAPAN”. Jakarta
Solihin,
Dadang. 2015. “Saatnya Negara Berdaulat di Laut: Koordinasi Lintas Sektoral
dalam Mendukung Pembangunan Kemaritian”,, PPRA LIII Lemhanas RI, Jakarta